Senin, 21 Juli 2025

Pertempuran di Pleret — Amarah Trunajaya


Sumber: Naskah Babadan, arsip VOC, kisah lisan Pleret

Tujuan: Memahami penderitaan rakyat kecil saat istana diserang, bukan hanya dari sudut pandang tokoh besar

🕯️Pleret, Tahun 1677

Suara kentongan memecah pagi.
Ting… tung… ting… tung…
Tanda bahaya. Tapi bukan bahaya biasa.

Warga kampung mendongak ke langit yang kelabu. Debu beterbangan. Anak-anak digendong, barang diseret, air mata mulai menetes—tapi belum ada yang tahu: malapetaka macam apa yang sedang mendekat.


---

👵🏻Sudut Pandang: Simbok Mijah, Seorang Ibu Tua di Pleret

> “Saya bukan prajurit. Saya hanya ibu tua yang menanam lombok dan bayam. Tapi pagi itu, saya merasa dunia saya akan hancur.”



Simbok Mijah melihat asap hitam dari arah barat. Kabarnya, Trunajaya, pemimpin pemberontakan dari Madura, datang membawa pasukan. Ratusan orang. Ada yang bersenjata, ada yang membawa obor, ada yang matanya seperti binatang buas.

> “Orang-orang bilang, beliau marah pada Sultan Amangkurat. Katanya karena kerajaan sudah lupa rakyat.”



Tapi apakah Trunajaya akan membedakan istana dan rumah rakyat?
Tidak.


---

🔥Hari Ketika Istana Terbakar

Benteng Pleret digempur.
Tembok batu dirobek meriam.
Bunyi dentuman tak henti.
Prajurit lari kocar-kacir.
Sebagian menyerah. Sebagian tewas. Sebagian… meninggalkan keluarga.

> “Saya lihat sendiri, keraton terbakar. Bangunan megah itu… jadi lautan api. Tidak tersisa selain debu dan arang.”



Trunajaya dan pasukannya masuk. Mereka menjarah:

Emas dari lumbung kerajaan

Pusaka dari gudang senjata

Perabotan dari rumah para bangsawan


Tapi tidak berhenti di sana. Rumah rakyat pun ikut disikat.


---

🧒🏻Sudut Pandang: Jaka, Anak Laki-laki 10 Tahun

> “Ayahku bekerja sebagai penjaga gerbang. Hari itu, beliau tak kembali.”



Jaka bersembunyi di bawah rak kayu. Ia melihat pasukan berseragam hitam berteriak dalam bahasa yang tak ia pahami.

Ibunya menggenggam tangannya erat. Mereka lari ke arah sungai. Bersama puluhan warga, mereka menyeberang menuju kebun pisang. Malam itu mereka tidur di tanah, tanpa selimut, tanpa suara… kecuali tangisan.

> “Sejak malam itu, aku tahu… rumah bukan selalu tempat tinggal. Kadang, rumah adalah ingatan yang hilang.”




---

🧭Pertempuran Tanpa Kemenangan

Pasukan Trunajaya memang berhasil merebut Pleret, tapi tak lama kemudian pasukan VOC dan Sunan Amangkurat II datang membalas.

Perang kembali pecah. Tapi kini… rakyat semakin menderita.
Ladang hancur. Sungai keruh. Tempat ibadah rusak.

> “Kami tidak tahu siapa pahlawan dan siapa musuh. Yang kami tahu: kami lapar. Kami kehilangan.”




---

🧠Catatan Sejarah

Naskah Babadan dan arsip VOC menyebutkan:

> “Trunajaya menguasai Pleret dengan kekuatan penuh, namun gagal mempertahankan. Keraton dibakar. Struktur hancur.”



Tapi catatan ini tak bercerita tentang simbok-simbok yang kehilangan sawah…
Atau anak-anak seperti Jaka yang kehilangan ayah dan rumah.


---

💔Sisi Manusia dari Perang

Perang bukan cuma tentang siapa menang.
Tapi tentang berapa banyak rakyat kecil yang tumbang.
Berapa keluarga tercerai.
Berapa anak kehilangan tanah kelahiran.
Dan berapa doa yang tak sempat dikabulkan.

> “Kami tidak ingin jadi sejarah. Kami hanya ingin hidup tenang.”
–Simbok Mijah




---

💡Pelajaran untuk Kita Hari Ini

Anak-anak…

Jangan bangga pada peperangan.
Tapi belajarlah dari kesalahan sejarah.
Kita harus menjadi generasi yang memahami arti damai, bukan sekadar menghafal nama-nama perang.

> 🔑 Pertempuran di Pleret mengajarkan bahwa kekuasaan yang tidak berpihak pada rakyat… pasti tumbang.
Tapi juga: kemarahan yang meledak tanpa arah… bisa membakar semuanya, termasuk rakyat sendiri.




---

📚Refleksi untuk Siswa

1. Menurutmu, bagaimana perasaan rakyat biasa saat terjadi pertempuran di wilayahnya?


2. Apa yang bisa kita lakukan agar sejarah kelam seperti ini tidak terulang?


3. Jika kamu adalah sejarawan muda, bagaimana kamu akan menceritakan kisah Simbok Mijah atau Jaka?

0 komentar:

Posting Komentar