2.1 Tiga Ayat Utama dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa: 11, 12, dan 176)
Al-Qur’an, sebagai sumber hukum tertinggi dalam Islam, telah menetapkan secara eksplisit hukum-hukum waris dalam tiga ayat utama, yang semuanya terdapat dalam surah An-Nisa. Ketiga ayat tersebut merupakan fondasi sistem pembagian warisan dalam Islam.
a. QS. An-Nisa: 11
> "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan..."
(QS. An-Nisa: 11)
Ayat ini menjelaskan bagian warisan untuk anak-anak (laki-laki dan perempuan), orang tua, serta situasi ketika pewaris tidak memiliki keturunan. Penegasan jumlah bagian seperti 1:2 antara anak perempuan dan laki-laki adalah bentuk keadilan dalam tanggung jawab nafkah dan perlindungan sosial yang diemban oleh laki-laki dalam Islam.
b. QS. An-Nisa: 12
> "...Dan bagi kalian (suami), separuh dari harta yang ditinggalkan istri kalian jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka kalian memperoleh seperempat dari harta yang ditinggalkannya..."
(QS. An-Nisa: 12)
Ayat ini mengatur bagian waris untuk pasangan (suami atau istri), serta saudara seibu. Konteks ayat ini sangat penting dalam memberikan kepastian hukum bagi pasangan hidup dalam konteks pewarisan, baik dalam keluarga kecil maupun keluarga besar.
c. QS. An-Nisa: 176
> "...Jika seseorang mati, tidak mempunyai anak dan mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan itu setengah dari harta yang ditinggalkannya..."
(QS. An-Nisa: 176)
Ayat ini diturunkan menjawab pertanyaan kaum Muslimin mengenai kasus kalalah (orang yang wafat tanpa anak dan orang tua), dan menjadi pelengkap dari dua ayat sebelumnya. Ayat ini memperjelas bagian warisan bagi saudara kandung, baik laki-laki maupun perempuan, dalam konteks kalalah.
Catatan penting: Ketiga ayat ini secara kolektif memberikan kerangka lengkap tentang sistem waris dalam Islam, dan merupakan salah satu topik paling rinci yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hukum waris dalam tatanan kehidupan umat Islam.
---
2.2 Hadis-Hadis Shahih tentang Waris
Selain Al-Qur’an, sumber hukum kedua dalam Islam adalah Sunnah Rasulullah SAW, yang menjelaskan lebih lanjut ketentuan faraidh secara praktis. Beberapa hadis shahih berikut merupakan dalil otoritatif yang memperkuat dan memperjelas hukum waris Islam.
a. Hadis tentang urgensi ilmu faraidh
> “Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya ia adalah separuh dari ilmu dan ilmu itu akan dilupakan, dan dia adalah ilmu pertama yang dicabut dari umatku.”
(HR. Ibnu Majah, no. 2719; Al-Hakim, dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadis ini menekankan bahwa ilmu faraidh adalah salah satu ilmu pokok dalam Islam yang harus dipelajari dan diajarkan secara turun-temurun. Pengabaian terhadap ilmu ini berarti pengabaian terhadap separuh dari struktur keilmuan umat Islam.
b. Hadis tentang larangan mewariskan kepada ahli waris melalui wasiat
> “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan haknya, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.”
(HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah; hadis shahih)
Hadis ini membatasi cakupan wasiat agar tidak menyalahi hak waris yang sudah ditetapkan oleh Allah. Wasiat hanya boleh diberikan kepada non-ahli waris atau lembaga amal, dengan ketentuan maksimal sepertiga dari harta.
c. Hadis tentang bagian waris tertentu
> “Berikanlah bagian waris kepada yang berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang paling dekat hubungan kekerabatannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menjadi dasar praktik utama dalam faraidh: bagian yang memiliki ketetapan (ashhabul furudh) diberikan terlebih dahulu, dan sisanya diberikan kepada ‘ashabah (ahli waris dari garis laki-laki seperti anak laki-laki, saudara laki-laki, dan sebagainya).
d. Hadis tentang keadilan waris
> “Sesungguhnya orang-orang yang membagi warisan bukan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka akan dipanggang di neraka pada Hari Kiamat.”
(HR. Ahmad; sanad hasan menurut sebagian ulama)
Hadis ini memperingatkan bahwa penyimpangan dari hukum waris syar’i adalah bentuk pelanggaran berat terhadap hukum Allah, yang konsekuensinya adalah hukuman akhirat.
---
2.3 Ijma’ dan Qiyas dalam Pengembangan Hukum Waris
Setelah Al-Qur’an dan hadis, dua sumber hukum berikutnya adalah ijma’ (konsensus ulama) dan qiyas (analogi hukum). Keduanya digunakan untuk menyelesaikan persoalan waris yang tidak disebutkan secara eksplisit dalam nash, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas masalah sosial.
a. Ijma’ (Konsensus)
Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid pada suatu masa terhadap suatu hukum syar’i. Dalam konteks faraidh, ijma’ memiliki peran penting dalam menetapkan perkara-perkara seperti:
Waris untuk kakek sebagai pengganti ayah
Waris untuk saudara seayah
Pembagian dalam kasus ‘aul (pengurangan bagian) dan radd (pengembalian sisa harta)
Para ulama, termasuk mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), sepakat dalam banyak hal prinsipil dalam waris, meskipun ada beberapa perbedaan dalam kasus khusus.
b. Qiyas (Analogi Hukum)
Qiyas adalah menetapkan hukum suatu perkara baru dengan cara membandingkan dan mengukurnya dengan perkara yang sudah ada hukumnya, karena memiliki sebab hukum (‘illat) yang sama.
Contoh penerapan qiyas dalam hukum waris antara lain:
Menyamakan status cucu laki-laki dari anak laki-laki (yang telah wafat) dengan anak laki-laki dalam kondisi tertentu.
Kasus pewaris wafat dalam kecelakaan yang sama (gharaq), menggunakan qiyas untuk menentukan urutan kematian.
Pembagian warisan dalam keluarga majemuk modern, yang melibatkan anak adopsi atau harta bersama (mempertimbangkan prinsip-prinsip umum waris dan keadilan dalam qiyas).
Catatan Penting: Qiyas dan ijtihad hanya berlaku dalam wilayah yang tidak diatur secara eksplisit dalam nash. Adapun hukum yang sudah ditentukan Allah dalam Al-Qur’an dan hadis shahih tidak boleh ditawar-tawar atau diubah berdasarkan akal manusia.
---
Kesimpulan
Dalil-dalil tentang warisan dalam Islam disusun secara kokoh dan komprehensif. Tiga ayat utama dalam Surah An-Nisa memberikan fondasi hukum yang tegas dan rinci. Hadis-hadis Nabi SAW memperjelas praktiknya serta menjawab pertanyaan-pertanyaan kontemporer. Sedangkan ijma’ dan qiyas menjadi alat penting untuk menjawab permasalahan waris yang belum memiliki nash secara langsung.
Penting bagi setiap Muslim untuk memahami dasar-dasar ini agar dapat membedakan antara hukum syar’i dan praktik warisan yang didasarkan pada tradisi atau kepentingan pribadi. Memahami dalil-dalil ini juga akan memperkuat kepatuhan kita terhadap syariat dan mencegah terjadinya penyimpangan dalam pembagian harta peninggalan.
---
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’anul Karim
2. Hadis-hadis sahih dari Shahih Bukhari, Shahih Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah
3. Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 8
4. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah, Jilid II
5. Syaikh Abdul Aziz bin Baz. Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah, Vol. 20
6. Al-Qurtubi. Tafsir al-Qurtubi, Juz 5
7. Djamaluddin Ancok. Ilmu Mawaris Praktis, Yogyakarta: UII Press
8. Kompilasi Hukum Islam (KHI), Departemen Agama RI, 1991
0 komentar:
Posting Komentar