1.1 Definisi Faraidh dan Hukum Waris
Ilmu faraidh adalah ilmu yang membahas tentang cara pembagian harta warisan kepada para ahli waris yang berhak sesuai dengan ketentuan syariat Islam. Kata "faraidh" berasal dari bahasa Arab al-farḍ (الفرض), yang secara bahasa berarti ketetapan, porsi, atau bagian yang telah ditentukan. Dalam konteks hukum Islam, istilah ini merujuk kepada bagian tertentu dari harta peninggalan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi ahli waris, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an.
Secara terminologi, ilmu faraidh adalah ilmu yang menjelaskan siapa saja yang berhak mewarisi, berapa bagiannya, serta syarat dan rukun dalam pembagian harta warisan. Ilmu ini bersandar pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, dan ijma’ ulama. Landasan utama faraidh termaktub dalam surah An-Nisa ayat 11, 12, dan 176.
Dalam ilmu fikih, faraidh disebut juga sebagai bagian dari ilmu mu'amalah, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar manusia. Adapun dalam praktiknya, faraidh disebut juga sebagai hukum waris Islam, yakni hukum yang mengatur pengalihan kepemilikan harta dari seseorang yang telah meninggal kepada para ahli warisnya.
1.2 Kedudukan Ilmu Waris dalam Islam
Ilmu faraidh memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Rasulullah SAW bersabda:
> “Pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada manusia, karena sesungguhnya ia adalah separuh dari ilmu dan ilmu itu akan dilupakan, dan dia adalah ilmu pertama yang dicabut dari umatku.”
(HR. Ibnu Majah, no. 2719; Al-Hakim, dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Hadis ini menunjukkan bahwa ilmu waris memiliki urgensi dan posisi istimewa. Ia disebut sebagai separuh dari ilmu karena menyangkut aspek muamalah yang paling penting dan sering menimbulkan konflik jika diabaikan.
Selain itu, Allah SWT sendiri yang membagi secara langsung bagian warisan dalam Al-Qur’an, tidak menyerahkannya kepada ijtihad manusia. Ini menunjukkan bahwa masalah waris adalah hak Allah yang harus ditaati.
> “Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu...”
(QS. An-Nisa: 11)
Dengan demikian, ilmu faraidh tidak hanya bernilai sebagai hukum, tetapi juga sebagai bentuk penghambaan dan kepatuhan kepada ketetapan Allah SWT.
1.3 Perbedaan Faraidh, Wasiat, dan Hibah
Banyak umat Islam yang masih mencampuradukkan antara faraidh, wasiat, dan hibah, padahal ketiganya memiliki pengertian dan hukum yang berbeda.
Aspek Faraidh Wasiat Hibah
Definisi Pembagian harta setelah kematian berdasarkan hukum Islam Pemberian harta setelah wafat kepada non-ahli waris atau untuk tujuan tertentu Pemberian harta secara sukarela saat masih hidup
Waktu berlaku Setelah wafat dan setelah dikurangi utang & wasiat Setelah wafat Saat pemberi masih hidup
Penerima Ahli waris yang sah menurut syariat Siapa pun kecuali ahli waris (kecuali jika semua ahli waris setuju) Siapa pun
Batasan hukum Wajib dijalankan sesuai nash Maksimal sepertiga dari harta Tidak dibatasi kecuali mengandung unsur dzalim
Dalil QS. An-Nisa: 11-12, 176 QS. Al-Baqarah: 180 QS. An-Nisa: 4, hadis-hadis Rasulullah
Kesalahan umum yang terjadi dalam masyarakat adalah mengatur warisan dengan bentuk “wasiat” atau “hibah” sebagai cara menghindari pembagian faraidh. Hal ini dapat menyebabkan kezaliman jika dilakukan tanpa kejelasan hukum atau tanpa izin semua ahli waris. Syariat menegaskan bahwa hak waris tidak bisa dihapuskan dengan alasan pribadi.
1.4 Keutamaan Mempelajari Ilmu Waris
Ada beberapa keutamaan mempelajari ilmu faraidh:
a. Ilmu yang Langsung Ditetapkan oleh Allah
Hanya sedikit hukum syariah yang Allah tetapkan secara terperinci dalam Al-Qur’an. Waris adalah salah satunya. Ini menunjukkan kehati-hatian dan kepastian hukum yang luar biasa. Tidak ada ruang untuk spekulasi dalam pembagian warisan.
b. Ilmu yang Pertama Kali Akan Dilupakan
Seperti hadis Nabi di atas, ilmu waris adalah ilmu yang akan lebih dahulu terlupakan oleh umat Islam. Mempelajarinya berarti menjaga salah satu warisan kenabian dan bentuk kontribusi dalam menjaga syariat.
c. Mencegah Sengketa dan Memelihara Keadilan
Konflik keluarga yang muncul setelah wafatnya seorang kerabat umumnya bermula dari ketidakjelasan atau ketidakpatuhan pada hukum waris. Dengan ilmu faraidh, pembagian dilakukan secara objektif, bukan berdasarkan emosi atau tekanan sosial.
d. Termasuk dalam Ilmu Fardhu Kifayah
Imam Al-Qurtubi menjelaskan bahwa ilmu faraidh merupakan fardhu kifayah, yakni kewajiban kolektif umat. Jika tidak ada satu pun yang mempelajarinya, maka seluruh masyarakat berdosa.
> “Ilmu faraidh adalah fardhu kifayah atas umat. Jika ada yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban atas yang lain.”
(Tafsir Al-Qurthubi, An-Nisa: 11)
e. Menjadi Sarana Ibadah Sosial
Pembagian harta sesuai syariat adalah ibadah yang berpahala besar. Selain itu, ia berkontribusi dalam menjaga keadilan sosial, menghindarkan anak yatim dari kezaliman, serta menegakkan prinsip adl (keadilan) dalam Islam.
1.5 Konsekuensi Meninggalkan Hukum Waris Syar’i
Meninggalkan hukum waris syar’i memiliki dampak serius baik secara hukum, sosial, maupun spiritual.
a. Dosa karena Menentang Hukum Allah
Barang siapa yang dengan sengaja mengganti atau menolak ketetapan waris syar’i maka ia telah menyalahi hukum Allah. Ini merupakan pelanggaran serius dalam Islam.
> “Barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya dan melampaui batas-batas-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam neraka, kekal di dalamnya, dan baginya azab yang menghinakan.”
(QS. An-Nisa: 14)
b. Mewariskan Konflik dan Perpecahan
Keluarga yang tidak menata warisan sesuai syariat cenderung menimbulkan pertikaian, saling curiga, dan putusnya silaturahmi. Akibatnya, keluarga besar menjadi rusak hanya karena harta.
c. Kezaliman terhadap Ahli Waris
Tidak menunaikan hak waris kepada yang berhak merupakan kezaliman. Harta yang diberikan tidak pada tempatnya bisa menjadi sebab masuknya seseorang ke dalam neraka.
d. Tanggung Jawab di Hari Kiamat
Dalam Islam, segala harta yang tidak dibagikan secara adil akan diminta pertanggungjawabannya di akhirat. Pembagian warisan bukan hanya soal administrasi, tetapi juga soal amanah dan akuntabilitas spiritual.
---
Kesimpulan
Ilmu faraidh bukan sekadar cabang dari fikih, melainkan sebuah perangkat penting dalam menegakkan keadilan sosial, menjaga hak-hak manusia, dan menghindari kezaliman dalam harta peninggalan. Kedudukannya tinggi karena ditetapkan langsung oleh Allah dan Rasul-Nya. Oleh sebab itu, mempelajari, mengajarkan, dan mengamalkan ilmu faraidh adalah bagian dari ibadah yang sangat mulia. Setiap umat Islam, khususnya para pemuka masyarakat, ahli hukum, dan tokoh keluarga, perlu memahami faraidh dengan baik demi menjaga keharmonisan dan keberkahan hidup.
---
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’anul Karim
2. Hadis Shahih dari HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, dan Al-Hakim
3. Al-Qurtubi. Tafsir Al-Qurtubi, Juz 5
4. Wahbah Az-Zuhaili. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Jilid 8
5. Syaikh Shalih Fauzan. Kitab Fiqh al-Muyassar
6. Departemen Agama RI. Kompilasi Hukum Islam (KHI), 1991
7. Amir Syarifuddin. Hukum Waris Islam, Jakarta: Kencana, 2005
8. Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah, Jilid II
9. Djamaluddin Ancok. Ilmu Mawaris Praktis, UII Press
0 komentar:
Posting Komentar